“Dangdut is the music of my country.”

Begitulah bunyi satu cuilan lirik lagu dari grup vokal kondang tanah air, Project Pop. Sebuah karya yang, bisa disebut, ironis. Dinyanyikan oleh grup pop, dengan nama yang memiliki unsur “Pop” juga, namun justru mengingatkan dan mengajak pecinta musik negeri ini biar nggak melupakan dangdut sebagai identitas bangsa.

Tapi bisakah penggemar lagu-lagu rock, pop, atau Indienesia menerima genre yang konon asli dari Indonesia ini?

Ngomongin soal dangdut, musik ini sebenarnya sudah ada di hati orang-orang Indonesia sejak lama. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, dangdut uda duluan tercipta. Paduan antara musik Melayu, diramu bareng unsur-unsur India, Arab, serta Barat. Menghasilkan bunyi-bunyian yang asyik dan mengajak pinggul bergoyang.

Pecinta dangdut juga patut mengucapkan terima kasih pada sosok Rhoma Irama. Bagi kaum sebelum milenial, pria yang akrab disapa Bang Haji ini punya banyak julukan, seperti “Pendekar Dangdut,” atau “Ksatria Bergitar.”Seorang Rhoma Irama, membela genre lokal tanah air, memulai perjuangan dari bawah hingga membuatnya akrab di telinga orang Indonesia.

Kemudian muncul satu pertanyaan. Apakah telinga anak muda jaman sekarang masih nyaman mendengarkan musik yang akrab dengan bunyi-bunyian kendang, suling, serta dentingan melodi gitar listrik yang sering kali jauh lebih heboh dari lagu pop ini?

Sempat terbang di era 70-80’an, popularitas dangdut kemudian sedikit kendor saat aliran pop-rock mulai akrab di hati anak muda negeri ini. Kehadiran Power Metal, Dewa 19, Padi, dan band-band lainnya secara bertubi-tubi sejenak membuat dangdut, bisa dibilang, agak terlupakan oleh telinga masyarakat. Meski terbang rendah, tapi gaung suara dan cengkok penyanyi dangdut nggak sepenuhnya luntur dari masyarakat Indonesia. Apalagi musik ini sudah punya pondasi kuat lewat fans dan komunitas.

Sempat berjalan di lorong yang suram selama beberapa masa, dangdut berhasil menggapai kembali momentum untuk terbang tinggi. Mulai hadir musisi-musisi muda yang berani mengambil jalur yang sama dengan Raja Dangdut Rhoma Irama. Beberapa nama besar tersebut, antara lain, Via Vallen, Lesti, Ayu Ting Ting, sampai yang paling heboh, Nassar. Selain itu produser-produser musik dangdut jaman sekarang juga makin jeli menghasilkan lagu-lagu yang bisa diterima semua golongan, termasuk milenial.

Yang menarik, saat ini juga ada acara talent show dangdut yang mampu membius keluarga Indonesia rela duduk berjam-jam di depan televisi. To make it better, dangdut saat ini telah melebarkan sayap sampai Amerika Serikat. Mulai muncul musisi-musisi luar negeri yang membawa genre dangdut untuk bersaing dengan aliran-aliran musik yang udah jauh lebih unggul dan populer di negeri Paman Sam.

Dangdut is the music of my coutry? Yes, it is. Sebagai bangsa Indonesia, kita harus konsisten menjaga satu-satunya genre asli dari negeri ini. Satu tanggung jawab yang bukan hanya dimiliki oleh pecinta dangdut, tapi juga penggemar musik se-tanah air. Jangan malah dibenci. Selami musik dangdut dan, siapa tahu, kamu akan mulai mencintai.

image

Salah satu keunggulan Kota Padang adalah fitur gampang berkeringat. Mau keluar rumah, pake jaket beberapa detik saja, punggung langsung berkubang.

Nggak heran kalau orang Padang itu suka sama yang seger-seger. Bukan ngelihatin air di dalam ember sambil berdecak kagum ya, tapi suka banget beli minuman yang bikin seger tenggorokan.
Read the rest of this entry »

Sore di Pantai Padang

Kalau perut nggak lapar mungkin blog ini nggak akan terurus. Apa hubungannya? Ya karena lapar akhirnya memaksa kami, saya dan istri, untuk menyalakan mesin motor dan pergi ke salah satu restoran ikan bakar favorit di Kota Padang. Namanya adalah Fuja. Mungkin yang punya restoran terinspirasi dengan Spongebob Squarepants saat berpetualang sambil teriak-teriak, “Fuja kerang ajaiiiib!” (Oke, lupakan..) Read the rest of this entry »

Selfie bareng bledheg

-Selfie kemana-mana, Selfie dimana-mana-

Iya seh, kalau dipikir-pikir, semakin banyak saja orang yang menggunakan tongkat narsis untuk memenuhi kebutuhan tersier yang kini menjadi primer, ber-Selfie. Nggak tahu, siapa yang menciptakan alat ini, tapi yang pasti tongkat yang dulu kayaknya hanya ada di Indonesia ini sekarang sudah mendunia.

Bicara soal mendunia, ternyata nggak hanya kegunaannya saja, tapi juga bahaya yang terkandung di luarnya.. Halah! Seperti beras plastik, tongkat selfie kebanyakan juga terbuat dari plastik.. Halah lagi! Ini niat nulis apa nggak ya? Maksudnya, sama-sama memiliki bahaya. Dan itulah kehebatan manusia, selalu bisa menemukan dampak negatif dari segala hal yang diciptakan untuk tujuan positif. Read the rest of this entry »

DSC_0174

Pantai Gandoriah – Pariaman, Sumatera Barat

Empat hari terakhir serasa sangat berpihak buat para kelas pekerja. Tiga hari liburan dan satu Hari Kecepit Nasional, yang bulan ini jatuh pada tanggal 15 Mei 2015, tampaknya membuat kita semua bernyanyi, “Hepi yey..yey..yey..” Termasuk saya dan istri yang tentunya nggak akan menghabiskan waktu libur dengan di rumah saja. Sejak seminggu sebelumnya sudah sibuk melempar koin untuk menentukan, tempat tujuan mana yang harus dituju berikutnya di hari libur nanti. Akhirnya diputuskan, Kamis Pon, tanggal 14 Mei kami menuju ke Pesut, Pesisir Utara. Kenapa dinamai Pesut? Karena Painan dinamai Pessel, alias Pesisir Selatan. Jadi nggak adil rasanya kalau Pariaman nggak diberi singkatan yang sama. Oke? Nggak penting..lanjut.. Read the rest of this entry »

20150504122827-1_20150504_124227

Baru saja pulang dari Kantor Pos dengan segala kegalauan yang melanda. Paket dengan bungkus koran dan plastik ini ditolak oleh perusahaan milik negara yang dengan suka cita mengantarkan barang atau surat (kalau sahabat pena masih ada).

Ya, seorang kasir memang melihat paketan terbungkus koran dengan mata elangnya ketika istri dan saya masih antri di barisan.

“Paketan dilarang dibungkus koran,” ujar sang Uda loket pos dari kejauhan.

Read the rest of this entry »

IMG20150501115843

Hari Kamis malam, sehari sebelum May Day, smartphone istri berdering (istilah baru untuk bervibrasi) dengan diiringi sebuah notifikasi dari aplikasi BBM. Di ujung sana, Mas Muel, seorang pegawai PLN yang sedang berjuang mencari pasangan, pasangan untuk kontak listrik, bilang kalau ada rencana untuk ke Nyarai Lubuk Alung.

Kebetulan banget! Dua bulan di Kota Padang dan belum sekalipun ke Nyarai yang dikenal karena airnya yang hijau bagaikan jamrud kejepit batuan dan tebing sungai. Sempat sih melihatnya di Si Bolang. Tapi kalau nggak melihat langsung kan nggak seru juga.

Read the rest of this entry »

PSX_20150426_145136

Nggak terasa sudah hampir dua bulan tinggal di Tanah Minang. Banyak kejadian seru, mulai dari kaget diklakson mikrolet sporty hingga pesan pizza tapi duitnya kurang.

Ada banyak hal yang harus kamu coba kalau mampir ke Kota Padang ini. Salah satunya adalah minum Empedu Tanah. Ini bukan empedu sapi, ayam, atau kambing yang jatuh ke tanah, kemudian ditanam, kemudian diberi pupuk dan disirami setiap hari selama seminggu, lalu diambil lagi dan diminum (terlalu detail joroknya? Nggak kan?). Read the rest of this entry »

Bukit Langkisau, “Gunung Banyak”-nya Sumatera Barat

Setelah sekian lama nggak ngeblog.. Kini saya terdampar di Padang, Sumatera Barat. Banyak cerita yang belum terkisahkan selama masih cerewet dalam blog di Malang, Jawa Timur hingga kini memiliki istri dan menetap di Ranah Minang ini. Dari Didi Kempot ke Ellya Kasim, dari Setasiun Balapan ke Ayam Den Lapeh.. Read the rest of this entry »

Mom Son Hug

Kapan terakhir kali anda dipeluk oleh ibu anda? Mungkin ada yang sudah seminggu, sebulan, atau bahkan setahun belum pernah dipeluk ibu. Apalagi kalau anda adalah seorang pria dengan umur yang sudah cukup disebut dewasa. Ada yang angkat tangan? Ada yang mengangguk mengiyakan? Sebenarnya saya tidak mengajak anda untuk mengangkat tangan, tanda bahwa pernah diberi atau memberi pelukan ke ibu.. Ha! Disana ada kamera, disini ada kamera.. Kena deh!

Sebentar… sudah lama tidak menulis blog (keretag-kereteg jari jemari). Read the rest of this entry »